Minggu, 20 Februari 2011

Lima Langkah Penyempurna, Agar Rumah Tangga Bahagia




Tentu, rumah tangga bahagia yang bergelar baiti jannati, rumahku adalah surgaku, memiliki harga mati yang wajib kita beli: yakni seharga iman dan kepatuhan kita kepada Allah.

Segala kaidah, petuah, rumus dan kiat-kiat yang berhulu dari olah logika manusia, tak akan bisa menghantarkan pasutri kepada kebahagiaan hakiki. Tanpa kepatuhan kepada Allah, tanpa ketaatan pada syariat yang MahaPencipta, manusia hanya akan menjadi perusak bagi dirinya sendiri, dan bagi siapapun yang ada di sekitarnya, termasuk keluarga, anak, isteri atau suami.

Bisa jadi, kerusakan itu tak terlihat. Bisa jadi orang banyak menganggap mereka sebagai sosok keluarga bahagia. Bisa jadi, seolah-olah mereka adalah keluarga yang layak diteladani dalam segala hal. Selama mereka jauh dari agama Allah, selama itu pula mereka menjadi contoh manusia yang membahayakan diri dan orang lain.

Berikut, beberapa langkah untuk menyempurnakan keluarga bahagia:

Pertama: Mendahulukan Keridhaan Allah, dan Keridhaan Pasangan

Banyak orang beranggapan, bahwa bila ingin rumah tangga senantiasa rukun, tentram dan bahagia, ia harus berusaha memperturutkan keinginginan pasangannya, meski itu harus berlawanan dengan kehendak mereka sendiri, atau bahkan melanggar syariat Allah. Karena bayangan kemarahan pasangan senantiasa tergambar di matanya sebagai hal yang paling menakutkan. Karena itu, mereka berusaha mencari perhatian dan mengambil ‘hati’ pasangan mereka, meski dengan mengorbankan kepatuhannya kepada Allah.

Padahal, Nabi n bersabda,

مَنِ الْتَمَسَ رِضَى اللهِ بِسَخَطِ النَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَأَرْضَى النَّاسَ عَنْهُ وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَا النَّاسِ بِسَخَطِ اللهِ سَخِطَ اللهِ عَلَيْهِ وَأَسْخَطَ عَلَيْهِ النَّاسَ

“Siapa saja yang mencari keridhaan Allah dengan hal-hal yang dimurkai oleh umat manusia, pasti Allahpun akan meridhainya, dan umat manusia juga akan menyukainya. Siapa saja yang mencari keridhaan umat manusia dengan hal-hal yang dimurkai oleh Allah, pasti Allahpun akan murka terhadapnya, sementara umat manusia justru akan membencinya[1].”

Saat mencari keridhaan orang lain dengan konsekuensi kemurkaan Allah, maka seseorang akan menjadi budak sesamanya. Kekuatan Allah tidak pernah mengisi hatinya, sementara kemurkaan orang lain akan menjadi Neraka buat dirinya.

Maka, lihatlah suami yang begitu takut pada kemarahan isteri, atau isteri yang begitu khawatir terhadap kemarahan suami, lalu mereka melakukan apa saja demi menghindari kemarahan tersebut. Mereka akan kehilangan kesempatan memperoleh banyak kebajikan. Seorang suami harus bertarung menghadapi kemarahan banyak orang, termasuk atasannya dalam pekerjaan, atau para tetangganya. Ia akan kelihatan begitu menyebalkan di hadapan banyak orang, dan hanya mungkin menjadi hero di hadapan isterinya saja. Dan itupun tidak akan bertahan lama. Karena memuaskan isteri dengan segala cara, justru membuat isteri semakin lapar tuntutan. Layaknya bayi yang tak pernah disapih. Alih-alih mendapatkan pujian sang isteri, ia justru akan menjadi manusia paling sengsara di dalam rumahnya sendiri.

Seorang istri yang berlaku serupa karena takut pada kemarahan suami, akan kehilangan kesempatan menjadi wanita yang baik di mata siapapun, bahkan akhirnya juga di mata suaminya sendiri. Ia akan kepayahan bergaul dengan sesama wanita. Karena segalanya selalu dibatasi kemauan suami. Ia akan sulit mengaji, memperbaiki diri, bila kebetulan sang suami kurang menghendakinya. Bahkan di lingkungan orang-orang taat sekalipun, isteri yang berorientasi hanya pada kenyamanan hati suami tanpa mengindahkan syariat Allah, pasti akan terjebak pada dilema penyembahan sesama manusia. Saat itu, segala sendi kebahagiaan rumah tangga akan runtuh dengan sendirinya.

Ibnu Rajab Al-Hambali menjelaskan,

“Manusia paling berbahagia adalah yang memperbaiki hubungannya dengan Allah. Karena, dengan cara itu, Allah akan memperbaiki hubungannya dengan manusia. Orang yang mencari keridhaan manusia dengan hal-hal yang membuat Allah murka, pasti pujian manusia terhadapnya, berubah menjadi cacian belaka[2].”

Agar beroleh kebahagiaan seutuhnya, manusia tidak boleh menggantungkan kebahagiaannya pada kehendak sesama manusia. Bagaimana mungkin seseorang bergantung pada kehendak suami atau isterinya, lalu dengan itu mereka ingin bahagia, sementara suami atau isteri mereka sendiripun tak bisa menjaminkan kebahagiaan bagi diri mereka sendiri?

Membiarkan diri kita memperturutkan kemauan orang lain dengan mengorbankan kehendak Yang MahaKuasa, berarti membiarkan diri kita dijajah sesama manusia. Orang yang dijajah, bagaimana mungkin beroleh bahagia?

óOßgtRöqt±øƒrBr& 4 ª!$$sù ‘,ymr& br& çnöqt±øƒrB bÎ) OçFZä. šúüÏZÏB÷s•B ÇÊÌÈ

“Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman…?” (At-Taubah : 13)

Kedua: Membangun Cita-cita Akhirat

Tentu kita semua tahu, bahwa cita-cita tertinggi dalam diri kita sebagai mukmin adalah masuk Surga, dan beroleh keridhaan Allah Yang MahaPengasih.

Tapi, dalam perjalanan kehidupan rumah tangga, suami maupun isteri kerap terjebak pada target-target jangka pendek yang terlalu menyibukkan pikiran, sehingga konsistensi pada nilai-nilai akhirat menjadi terabaikan.

Hari ini, saya harus beli ini. Tanggal sekian, saya harus sudah bisa membeli ini, memiliki itu. Tahun ke sekian pernikahan, kami harus sudah mempu begini dan begitu.

Keinginan adalah manusiawi. Tapi kerap kali keinginan suami maupun isteri, membayangi-bayangi pikiran mereka sepanjang waktu. Sehingga tak ada hari tanpa memikirkan target dan pencapaian yang harus diraih. Sebuah kegagalan, akan menyisakan tumpukan kegundahan dalam hati. Bagaimana bila kegagalan demi kegagalan terus berdatangan? Bersiaplah menjadi manusia paling melarat di dunia.

“Orang yang cita-citanya tertuju pada dunia saja, urusannya akan Allah cerai beraikan, kemiskinan senantiasa terbayang di pelupuk matanya, sementara dunia yang mendatanginya hanya sebatas yang telah Allah tetapkan baginya saja. Dan Siapa saja yang cita-citanya tertuju pada akhirat, pasti Allah beri keteguhan pada kesatuan jiwanya, kekayaan selalu melekat dalam hatinya, sementara dunia justru mendatanginya secara pasrah.[3]“

Pondasi ini harus kerap dikampanyekan dalam keluarga. Suami maupun isteri harus saling ingat-mengingati soal cita-cita akhirat ini. Setiap tingkah, prilaku, amalan, hingga ucapan sehari-hari yang mulai mengarah untuk menjebak diri mereka ke dalam kegilaan terhadap dunia, harus segera dimandulkan kembali. Apakah dengan itu mereka akan menjadi pribadi yang pemalas? Tidak, sama sekali tidak.

Itu bisa terlihat, ketika suami terlalu sibuk bekerja, sehingga lupa mengajak isteri mengaji, lupa dengan masjid, mulai semakin jarang membaca Al-Quran…..Sang isteri wajib menegur, dan mengingatkan suami, “Mas, mari kita kembali kepada Allah….”

Saat mulut isteri sibuk berkicau soal keinginan-keinginan duniawi, sehingga menjadi sepi dari dzikir, sang suami harus berkata santun, “Sayang, banyaklah bertasbih, bertakbir, bertahlil, agar iiwa kita senantiasa ingin mengejar akhirat…”

Saat kegilaan terhadap dunia menghinggapi hati salah satu pasutri, apalagi kedua-duanya, maka arah kehidupan rumah tangga akan berbolak-balik. Mereka tak akan pernah merasa nyaman dalam satu kondisi. Pikiran mereka selalu berusaha melahap kenyamanan-kenyamanan baru, sehingga nyaris tak pernah menyukuri segala yang Allah karuniakan kepada mereka.

Itulah sebabntya, banyak konflik rumah tangga terjadi, karena hasrat-hasrat duniawi yang tidak terpenuhi. Ada yang isteri yang ribut secara heboh, hanya karena uang jatah uang bulannya berkurang. Padahal sesungguhnya, yang ia terima masih sangat berlimpah dibandingkan kebanyakan orang.

Itulah sebabnya, banyak suami yang bekerja kesetanan mencari tambahan rezki, karena baik dirinya maupun isterinya, sama-sama menganggap bahwa pencapaian tertentu dalam soal kemapanan adalah keharusan. Kegagalan adalah musibah yang tak bisa dimaafkan.

Dengan demikian, berarti kebahagiaan seseorang amatlah bergantung pada pencapaian hasrat-hasrat duniawinya. Padahal hasrat manusia selalu berkembang. Hari ini, batas sekian sangatlah mencukupi. Bila itu sudah tercapai, ia akan mengejar yang lebih banyak lagi. Hasratnya akan makin berkembang dari hari ke hari. Maka, dari mana kebahagiaan itu akan muncul? Bagaimana pasutri bisa mengenyam kebahagiaan itu, bila syarat pencapaiannya senantiasa berubah-ubah?

Saudara seiman. Bila sebuah rumah tangga tidak dibangun dengan terus mengasah kecintaan terhadap akhirat, dengan saling nasihat menasihati dalam meningkatkan ibadah, maka hasrat-hasrat duniawi akan membelit jiwa pasutri. Bila itu terjadi, kebahagiaan hidup akan menjadi angan-angan belaka.

Ketiga: Meningkatkan Kwalitas Karakter dan Kebiasaan

Ada sebuah hal sederhana yang kerap diabaikan oleh pasutri, padahal itu amatlah berpengaruh pada proses pembahagiaan hidup dan penyejahteraan jiwa. Hal itu tersebut adalah perbaikan karakter dan kebiasaan.

Manusia yang tidak berdinamika untuk semakin baik dari hari kehari, pasti akan terjebak dalam kepenatan hidup. Karena ujian dan cobaan hidup makin beragam, sementara potensi diri tidak berkembang.

Begitu juga dalam kehidupan pasutri. Di antara sekian banyak problematika rumah tangga, sisi yang terberat adalah membina keserasian dan harmonisasi pasutri dalam kehidupan sehari-hari.

Yang paling kerap mengganjal tujuan membina keserasian adalah adanya perbedaan karakter antara suami dan isteri, yang menyebabkan mereka kesulitan untuk berinteraksi secara nyaman. Perbedaan karakter dan kebiasaan itu kadang-kadang kontradiktif, seperti perbedaan antara manis dan pahit, dingin dan panas, sehingga kerap terjadi ketegangan-ketegangan saat kepentingan karakternya terusik oleh kepentingan karakter pasangannya.

Saat makan, saat menikmati udara, saat mengamati kasus-kasus tertentu, saat menghibur diri, tentu sangat membahagiakan pasutri. Tapi semua itu lenyap seketika, ketika masing-masing memiliki karakter berseberangan saat menikmati semuanya. Kebersamaan yang indah itu akhirnya justru memberi hasil sebaliknya: keributan.

Maka, setiap pasutri wajib membina karakter dan kebiasaannya agar semakin permisif, semakin akomodatif terhadap perbedaan karakter pasangannnya. Dan itu akan semakin mudah, bahkan semakin memberikan kenikmatan lebih, bila mereka tulus menjalannya.

Ada isyarat dalam hadits, yang tidak dipahami oleh banyak orang.

“Janganlah seorang suami beriman membenci istrinya yang beriman. Karena kalau ia tidak menyukai salah satu tabiatnya, pasti ada tabiat lain yang membuatnya merasa senang[4].”

Hadits ini sering digunakan untuk makna bahwa seseorang harus berusaha sabar menghadapi karakter dan kebiasaan pasangan yang tidak dia sukai. Padahal sesungguhnya, hadits juga memberi isyarat tegas bahwa setiap pasangan harus berusaha mengoptimalkan sisi karakter yang disukai oleh pasangan, agar dapat meminimalisir pengaruh karakter dan kebiasaan buruknya terhadap pasangannya tersebut.

Artinya, jangan sampai karakter yang tidak disukai pasangan justru semakin dominan dari hari ke hari. Justru sebaliknya, karakter yang kurang disukai itu hendaknya semakin hari semakin dikikis, sementara karakter yang disengani oleh pasangan, semakin hari semakin diasah. Bila keduanya melakukan hal itu, niscaya kehidupan rumah tangga akan semakin mengembunkan keceriaan, kebahagiaan dan ketentraman, pada kulit kehidupan keseharian.

Persoalannya, banyak pasutri yang enggan mengubah karakter dan kebiasaan diri. Di sisi lain, mereka juga kurang berminat untuk mengoptimalkan karakter dan kebiasaan diri yang berpotensi membahagiakan pasangan. Kenapa? Karena banyak orang ingin menjalani hidup ini secara mengalir begitu saja.

Padahal, tidak ada puncak kebahagiaan yang bisa dicapai tanpa tetesan keringat. Itu artinya, kebahagiaan harus dicari dan diusahakan. Kalau Allah telah menciptakan segala potensi itu pada diri kita, kenapa kita tidak mengusahakannya?

Amatlah mudah untuk memahami apa yang disukai pasangan dari diri kita, dan apa yang tidak disukai oleh pasangan dari diri kita. Hanya persoalannya, maukah kita berusaha agar pasangan kita semakin hari semakin banyak mendapatkan hal-hal yang paling disukainya dari diri kita?

Keempat: Menghargai Pasangan

Apapun yang diusahakan oleh manusia, selalu saja menyisakan kekurangan dan kealpaan. Alangkah baiknya, bila kitapun belajar menghargai kelebihan dan kekurangan orang lain, terlebih lagi, bila orang lain itu adalah pasangan kita. Suami, atau isteri kita.

Langkah keempat ini adalah langkah antisipasi atas segala kekurangan yang terjadi, saat segala upaya telah dilakukan. Sekadar menyadarkan kita, bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Maka kebahagiaan diri kita hanya bisa dicapai, bila kita mampu memahami segala kekurangan siapapun yang dengannya kita berinteraksi. Terutama sekali pasangan kita sehari-hari.

Memahami kekurangan, berarti juga menghargai kelebihan. Semakin seorang suami atau isteri memahami kekurangan pasangannya, semakin pula ia mampu menghargai kelebihan dan keistimewaan yang dimiliki pasangannya.

“Wajar, kalau dia kurang pandai memasak, karena sejak kecil tidak terbiasa melakukannya. Tapi bersih-bersih, dia tetap jagonya…”

“Mungkin suamiku agak sedikit pemarah, karena dia memang anak satu-satunya dalam keluarga. Tapi soal keromantisan, makin hari makin luar biasa…”

Salah satu tips menghargai pasangan adalah membangun kebiasaan untuk mempelajari kelebihannya. Artinya, suami maupun isteri, sebaiknya melihat apa yang menjadi kelebihan pasangannya, lalu belajar untuk bisa seperti dia. Kenapa demikian? Karena seseorang akan bisa menghargai pekerjaan atau sesuatu, bila ia sudah mengenalinya. Bila sudah sibuk memasak di dapur, atau membersihkan kamar mandi, seorang suami akan mengerti betapa pekerjaan-pekerjaan isterinya itu sesungguhnya sangatlah luar biasa.

Begitu pula, bila isteri menyempatkan diri membantu mengerjakan sebagian pekerjaan suami. Begitu pula, bila suami maupun isteri menyempatkan diri untuk melakukan hal-hal yang menjadi kelebihan pasangan, meski itu sebenarnya sudah lazim dikerjakan oleh isteri atau suami sepertinya.

Selain meniru kebiasaan baik pasangan, sebaiknya suami ataupun isteri juga mengajarkan kelebihannya kepada pasangannya. Suasana take and give itu akan indah, ketika masing-masing saling menyadari bahwa yang ia miliki juga sudah seharusnya dimiliki oleh pasangannya. Meski dalam kenyataan itu tidaklah mudah, dan kalaupun berhasil tidak akan sepenuhnya, namun dengan kebiasaan itu masing-masing akan semakin mampu menghargai pasangan. Tanpa belajar memahami pasangan, pasutri akan terus dibuat kepayahan oleh pasangannya sendiri sepanjang hidupnya.

(#qçRur$yès?ur ’n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3“uqø) G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? ’n?tã ÉOøOM}$# Èbºurô‰ãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߉ƒÏ‰x© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ

” dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya…” (Al-Maidah : 2)

Yang Kelima: Bertawakal Kepada Allah

Manusia tidak mungkin menjemput kebahagiaan, dengan hanya mengandalkan kemampuannya sendiri. Manusia, tetaplah manusia dengan segala keterbatasannya. Tentu ada kekuatan tak terbatas yang mampu membolak-balikkan hati. Yang mengubah yang tidak ada menjadi ada, yang ada menjadi tidak ada. Kekuatan itu adalah kekuasaan Allah, YangMahaPerkasa.

Di sisi lain, manusia tak pernah bisa melepaskan diri dari kekurangan yang menjadi karakter dasarnya,

“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir..” (Al-Ma’aarij : 19-21)

Hanya orang yang taat dan senantiasa beribadah kepada Allah, yang mampi meminimalisir pengaruh dari karakter dasar manusia itu. Selebihnya, dari awal hingga akhir, ia harus senantiasa menyandarkan urusannya kepada Allah.

“Sesungguhnya pelindungku adalah Allah yang telah menurunkan Al-Kitab (al-Qur’an) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh…” (Al-A’raaf : 196)

“Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung”. Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Ali Imran : 173-174)

Pasutri harus membiasakan diri untuk bertawakal kepada Allah. Beban hidup, persoalan, keragaman peristiwa, hal-hal yang tak terduga, semua sering dapat mengejutkan dan menindih jiwa kita dengan beban yang berat.

Seringkali sesuatu itu menjadi tak seindah yang dibayangkan. Seringkali hal-hal terjadi tak sewajar yang kita pikirkan. Maka, hanya dengan bertawakal segala persoalan itu mengendap menjadi ampas-ampas beban yang tak lagi menyiksa.

Simak, sabda Nabi n,

لَوْ كَانَ لِيْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا لَسُرُّنِيْ أَنْ لاَ تَمُرُّ عَلَيَّ ثَلاَثَ لَيَالٍ وَ عِنْدِيْ مِنْهُ شَيْءٌ، إِلاَّ شَيْءٌ أَرْصَدَهُ لِدَيْنٍ

“Seandainya aku memiliki emas sebanyak gunung Uhud, maka aku sangat bergembira kalau tidak sampai berlalu tiga hari lamanya hingga tidak ada sedikit pun yang tersisa dari emas itu, kecuali sesuatu yang aku siapkan untuk membayar utang.”[5]

Kita boleh saja berusaha, tapi segalanya sudah tersurat. Keyakinan ini seharusnya memberi kekuatan lebih pada jiwa pasutri, sehingga senantiasa menyadari bahwa mereka hanyalah manusia biasa. Dan bahwa asalkan mereka bertakwa, tidak ada hal yang dapat mencelakakan mereka.

“Ketahuilah, seandainya seluruh manusia berkumpul untuk mendatangkan manfaat padamu maka, mereka takkan dapat memberikan manfaat itu kecuali manfaat sebatas yang telah Allah tetapkan padamu. Ketahuilah, seandainya mereka semua bersatu untuk mencelakakan dirimu, maka mereka tak dapat mendatangkan mudharat kecuali sebatas mudharat yang telah Allah tetapkan atas dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran telah kering.”[6]

Pasutri harus saling ingat mengingatkan, agar bertawakal kepada Allah, menyerahkan segala hal, urusan dan akhir perjalanan hidup ini kepada Allah semata. Kita hanya wajib berusaha, dan Allah yang akan menentukan segalanya.

Membiasakan diri, untuk tersenyum dalam segala kepedihan.

Membiasakan diri, untuk menolong orang lain dalam segala kesusahan.

Membiasakan diri, untuk bersyukur atas segala kesulitan.

Membiasakan diri, untuk mengerjakan sesuatu tanpa terbebani oleh apa yang akan terjadi sesudahnya.

Seorang isteri harus membiasakan diri melepas suami bekerja dengan senyum indah, dan menyambutnya kembali sepulang kerja dengan senyum yang tetap mengembang sentosa.

Seorang suami harus membiasakan diri memahami relung-relung terdalam dari perasaan seorang isteri. Mempelajaribody language yang menjadi ciri khas wanita, sehingga lebih mampu memberi sentuhan-sentuhan bahagia kepadanya.

Suami dan isteri haruslah membiasakan diri, untuk menyadari bahwa segala yang terjadi bukanlah hak manusia untuk mengadilinya…..

[1] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi IV : 609. Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban I : 510. Diriwayatkan oleh Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaa-id IV : 71. Juga oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannif VI : 198. Lalu oleh Ath-Thabrani X : 215.

[2] Lihat Jami’ul Uluum wal Hikam I : 163.

[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah nomor 949.

[4] Diriwayatkan oleh Imam Muslim II : 1091 dan Ahmad II : 329.

[5] Shahih Al-Al-Bukhari, No. 6443

[6] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, No. 244. Beliau berkomentar, “Hadits ini hasan Shahih”.

Rabu, 09 Februari 2011

3 Amalan Muslim Sejati...


Saudaraku, setiap waktu merupakan ladang pahala bagi setiap muslim… Oleh sebab itu, janganlah kau lewatkan setiap jengkal waktu yang engkau lalui dengan kesia-siaan dan merugikan diri sendiri.

Berikut ini, akan kami sebutkan tiga buah amalan yang agung di sisi Allah, amalan yang dicintai-Nya, amalan yang akan mendekatkan dirimu kepada-Nya, amalan yang akan menentramkan hatimu dimanapun kau berada, amalan yang akan menjadi tabunganmu menyambut hari esok setelah ditiupnya sangkakala dan hancurnya dunia beserta segenap isinya…

Semoga Allah mengumpulkan kita bersama para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang salih di dalam surga-Nya…, Allahumma amin.

[1] Perbanyaklah berdzikir kepada-Nya

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku pun akan mengingat kalian.” (QS. al-Baqarah: 152). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kepada Allah dengan sebanyak-banyaknya…” (QS. al-Ahzab: 41). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari mengingat Allah.” (QS. al-Munafiqun: 9). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah suatu kaum berkumpul seraya mengingat Allah, melainkan pasti malaikat akan menaungi mereka, rahmat meliputi mereka, ketentraman turun kepada mereka, dan Allah akan menyebut-nyebut nama mereka di hadapan malaikat yang di sisi-Nya.” (HR. Muslim)

[2] Tetaplah berdoa kepada-Nya

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Rabb kalian berfirman; Berdoalah kepada-Ku niscaya Aku kabulkan. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri sehingga tidak mau beribadah (berdoa) kepada-Ku pasti akan masuk neraka dalam keadaan hina.” (QS. Ghafir: 60). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tiada suatu urusan yang lebih mulia bagi Allah daripada doa.” (HR. al-Hakim). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak berdoa kepada Allah subhanah, maka Allah murka kepada dirinya.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rabb kita tabaraka wa ta’ala setiap malam yaitu pada sepertiga malam terakhir turun ke langit terendah dan berfirman, ‘Siapakah yang mau berdoa kepada-Ku niscaya Aku kabulkan, siapakah yang mau meminta kepada-Ku niscaya Aku beri, siapa yang mau meminta ampunan kepada-Ku niscaya Aku ampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim)

[3] Mohon ampunlah kepada-Nya

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Allah akan menyiksa mereka sementara kamu berada di tengah-tengah mereka, dan tidaklah Allah akan menyiksa mereka sedangkan mereka selalu beristighfar/meminta ampunan.” (QS. al-Anfal: 33). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya aku setiap hari meminta ampunan dan bertaubat kepada Allah lebih dari tujuh puluh kali.” (HR. Bukhari).

Saudaraku,… perjalanan waktu menggiring kita semakin mendekati kematian… Oleh sebab itu marilah kita isi umur kita dengan dzikir, doa, dan taubat kepada-Nya. Mudah-mudahan kita termasuk golongan yang dicintai-Nya, diampuni oleh-Nya, dan mendapatkan rahmat dari-Nya…

Sumber:
Kitab adz-Dzikr wa ad-Du’a karya Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr

Nasehat Kepada Pengantin Baru




Rasulullah SAW begitu romantis kepada istrinya. Beliaupun punya nasihat indah bagi setiap pengantin baru. Apa sajakah? Berikut nasihat beliau.

• MENCIUM KENING
Malam pertama begitu indah, tapi kata Rasulullah, harus diiringi doa serta memberikan sentuhan kemesraan perdana kepada istri. Rasulullah SAW bersabda: “Apabila salah seorang dari kamu menikahi wanita atau membeli seorang budak, maka peganglah ubun-ubunya lalu bacalah ‘basmalah’ serta doakanlah dengan doa berkah seraya mengucapkan: ‘Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan kebaikan tabiatnya yang ia bawa. Dan aku berlindung dari kejelekannya dan kejelekan tabiat yang ia bawa.’” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, al-Hakim).

• SALAT SUNAH
Agar pernikahan kita diiringi rida dan rahmat Allah, Rasul pun mengajarkan agar sebelum berhubungan suami istri di malam pertama hendaknya salat sunah dua rakaat lebih dulu.

Anjuran ini bisa kita lihat dalam sebuah hadis dari Abu Sa’id maula (budak yang telah dimerdekakan) Abu Usaid. Ia berkata: “Aku menikah ketika aku masih seorang budak. Ketika itu aku mengundang beberapa orang Shahabat Nabi, diantaranya ‘Abdullah bin Mas’ud, Abu Dzarr dan Hudzaifah radhiyallaahu ‘anhum. Lalu tibalah waktu shalat, Abu Dzarr bergegas untuk mengimami salat. Tetapi mereka berkata: ‘Kamulah (Abu Sa’id) yang berhak!’ Ia (Abu Dzarr) berkata: ‘Apakah benar demikian?’ ‘Benar!’ jawab mereka. Aku pun maju mengimami mereka salat. Ketika itu aku masih seorang budak. Selanjutnya mereka mengajariku, ‘Jika isterimu nanti datang menemuimu, hendaklah kalian berdua shalat dua rakaat. Lalu mintalah kepada Allah kebaikan istrimu itu dan mintalah perlindungan kepada-Nya dari keburukannya. Selanjutnya terserah kamu berdua…’” (Adabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah).

• DOA PEMBUKA
Setelah salat sunah dua rakaat, dianjurkan pula untuk berdoa. Sebagaimana hadis: “Seorang datang kepada ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, lalu ia berkata, ‘Aku menikah dengan seorang gadis, aku khawatir dia membenciku.’ ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Sesungguhnya cinta berasal dari Allah, sedangkan kebencian berasal dari setan, untuk membenci apa-apa yang dihalalkan Allah. Jika isterimu datang kepadamu, maka perintahkanlah untuk melaksanakan salat dua rakaat di belakangmu. Lalu ucapkanlah (berdoalah): “Ya Allah, berikanlah keberkahan kepadaku dan isteriku, serta berkahilah mereka dengan sebab aku. Ya Allah, berikanlah rezeki kepadaku lantaran mereka, dan berikanlah rezeki kepada mereka lantaran aku. Ya Allah, satukanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan dan pisahkanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan.” (lihat di Kitab al-Mushannaf).

• MINUM SEGELAS AIR
Sebelum memulai hubungan kali pertama, Rasul berpesan agar jangan terburu-buru. Alangkah baiknya dimulai dengan kelembutan dan kemesraan. Misalnya, dengan memberinya segelas air minum atau yang lainnya. Sebagaimana hadis Asma’ binti Yazid binti as-Sakan r.a., ia berkata: “Saya merias ‘Aisyah untuk Rasulullah SAW. Setelah itu saya datangi dan saya panggil beliau supaya menghadiahkan sesuatu kepada ‘Aisyah. Beliau pun datang lalu duduk disamping ‘Aisyah. Ketika itu Rasulullah SAW disodori segelas susu. Setelah beliau minum, gelas itu beliau sodorkan kepada ‘Aisyah. Tetapi ‘Aisyah menundukkan kepalanya dan malu-malu.” ‘Asma binti Yazin berkata: “Aku menegur ‘Aisyah dan berkata kepadanya, ‘Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah SAW!’ Akhirnya ‘Aisyah pun meraih gelas itu dan meminum isinya sedikit.” (HR. Ahmad di kitab Adabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah)

• DOA SEBELUM BERHUBUNGAN
Subhanallah, Islam begitu indah mengatur hubungan suami istri. Setiap kali akan berhubungan suami istri, selalu diingatkan untuk senantiasa berdoa: “Bismillah, Allahumma jannibnaasy syaithaana wa jannibisy syaithaana maa razaqtana.”

Artinya: “Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, jauhkanlah aku dari setan dan jauhkanlah syaitan dari anak yang akan Engkau karuniakan kepada kami.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Rasulullah SAW juga bersabda: “Maka, apabila Allah menetapkan lahirnya seorang anak dari hubungan antara keduanya, niscaya syaitan tidak akan membahayakannya selama-lamanya.” (HR. Bukhari, Muslim).

6 Asupan Untuk sperma berkualitas



Pada umumnya, pria memproduksi sperma setiap saat. Namun jumlah dan mutunya tergantung pada apa yang dikonsumsi. Agar sperma berkualitas, pilihlah makanan yang kaya asam lemak esensial, vitamin A, B, C, dan E, mengandung seng dan magnesium.



Berikut 6 makanan peningkat kesuburan dan kinerja sperma:

Tomat

Jangan menganggap remeh tomat. Kulit dan daging buahnya yang merah terbukti sarat kadar likopen yang mengandung senyawa alami antioksidan. Likopen mampu membuat sperma jadi lebih gesit. Jika anda termasuk pria yang kurang subur, rajin minum jus tomat dijamin mampu meningkatkan jumlah sperma secara nyata.

Jambu biji

Khasiat jambu biji bukan Cuma untuk menangkal demam berdarah saja. Likopen dalam jambu biji lokal merah bersifat antioksidan. Berkhasiat menyuburkan sistem reproduksi pria dan mampu meningkatkan vitalitas. Mengkonsumsi jus jambu biji merah secara rutin akan mendongkrak kesuburan pada pria. Satu buah jambu biji sama dengan 80 mg likopen

Kemangi

Daya tahan hidup sperma penting agar proses pembuahan sel telur berhasil. Daun kemangi selain berkhasiat menghilangkan bau badan dan bau mulut, ternyata mengandung arginine yang memperkuat daya tahan hidup sperma, mencegah kemandulan, dan menurunkan gula darah.

Semangka

Mengandung salah satu komponen karotenoid, yaitu likopen. Selain sebagai antipenuaan dini dan kanker, kadar likopen pada semangka mampu memperbaiki kesuburan dan mendorong gairah seks pria. 1/2 bagian semangka setara dengan 20 mg likopen.

Daun katuk

Daun katuk terbukti berkhasiat menambah kesuburan, menambah mutu dan jumlah sperma. Tujuh senyawa aktif yang dikandungnya dapat merangsang sintesis hormon-hormon steroid. Dalam tubuh pria senyawa aktif ini merangsang pembentukan hormon keperkasaan dan produksi sperma pun melaju pesat seiring dengan peningkatan kualitasnya.

Wortel

Sebagai sayuran kaya nutrisi juga gudangnya betakaroten, mampu mencegah penimbunan gula darah dan kerak lemak penyebab impotensi. Senyawa porfirin mendorong kelenjar pituitari agar menaikkan hormon testosteron. Kandungan testosteron dalam darah meningkat maka gairah seksual pun semakin membara.

Selasa, 01 Februari 2011

Kisah "3 bulan tidak bisa memandang suami"


Perkawinan itu telah berjalan empat (4) tahun, namun pasangan suami istri itu belum dikaruniai seorang anak. Dan mulailah kanan kiri berbisik-bisik: “kok belum punya anak juga ya, masalahnya di siapa ya? Suaminya atau istrinya ya?”. Dari berbisik-bisik, akhirnya menjadi berisik.

Tanpa sepengetahuan siapa pun, suami istri itu pergi ke salah seorang dokter untuk konsultasi, dan melakukan pemeriksaaan. Hasil lab mengatakan bahwa sang istri adalah seorang wanita yang mandul, sementara sang suami tidak ada masalah apa pun dan tidak ada harapan bagi sang istri untuk sembuh dalam arti tidak peluang baginya untuk hamil dan mempunyai anak.

Melihat hasil seperti itu, sang suami mengucapkan: inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, lalu menyambungnya dengan ucapan: Alhamdulillah.

Sang suami seorang diri memasuki ruang dokter dengan membawa hasil lab dan sama sekali tidak memberitahu istrinya dan membiarkan sang istri menunggu di ruang tunggu perempuan yang terpisah dari kaum laki-laki.

Sang suami berkata kepada sang dokter: “Saya akan panggil istri saya untuk masuk ruangan, akan tetapi, tolong, nanti anda jelaskan kepada istri saya bahwa masalahnya ada di saya, sementara dia tidak ada masalah apa-apa.

Kontan saja sang dokter menolak dan terheran-heran. Akan tetapi sang suami terus memaksa sang dokter, akhirnya sang dokter setuju untuk mengatakan kepada sang istri bahwa masalah tidak datangnya keturunan ada pada sang suami dan bukan ada pada sang istri.

Sang suami memanggil sang istri yang telah lama menunggunya, dan tampak pada wajahnya kesedihan dan kemuraman. Lalu bersama sang istri ia memasuki ruang dokter. Maka sang dokter membuka amplop hasil lab, lalu membaca dan mentelaahnya, dan kemudian ia berkata: “… Oooh, kamu –wahai fulan- yang mandul, sementara istrimu tidak ada masalah, dan tidak ada harapan bagimu untuk sembuh.

Mendengar pengumuman sang dokter, sang suami berkata: inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, dan terlihat pada raut wajahnya wajah seseorang yang menyerah kepada qadha dan qadar Allah SWT.

Lalu pasangan suami istri itu pulang ke rumahnya, dan secara perlahan namun pasti, tersebarlah berita tentang rahasia tersebut ke para tetangga, kerabat dan sanak saudara.

Lima (5) tahun berlalu dari peristiwa tersebut dan sepasang suami istri bersabar, sampai akhirnya datanglah detik-detik yang sangat menegangkan, di mana sang istri berkata kepada suaminya: “Wahai fulan, saya telah bersabar selama

Sembilan (9) tahun, saya tahan-tahan untuk bersabar dan tidak meminta cerai darimu, dan selama ini semua orang berkata:” betapa baik dan shalihah-nya sang istri itu yang terus setia mendampingi suaminya selama Sembilan tahun, padahal dia tahu kalau dari suaminya, ia tidak akan memperoleh keturunan”. Namun, sekarang rasanya saya sudah tidak bisa bersabar lagi, saya ingin agar engkau segera menceraikan saya, agar saya bisa menikah dengan lelaki lain dan mempunyai keturunan darinya, sehingga saya bisa melihat anak-anakku, menimangnya dan mengasuhnya.

Mendengar emosi sang istri yang memuncak, sang suami berkata: “istriku, ini cobaan dari Allah SWT, kita mesti bersabar, kita mesti …, mesti … dan mesti …”. Singkatnya, bagi sang istri, suaminya malah berceramah di hadapannya.

Akhirnya sang istri berkata: “OK, saya akan tahan kesabaranku satu tahun lagi, ingat, hanya satu tahun, tidak lebih”. Sang suami setuju, dan dalam dirinya, dipenuhi harapan besar, semoga Allah SWT memberi jalan keluar yang terbaik bagi keduanya.

Beberapa hari kemudian, tiba-tiba sang istri jatuh sakit, dan hasil lab mengatakan bahwa sang istri mengalami gagal ginjal. Mendengar keterangan tersebut, jatuhnya psikologis sang istri, dan mulailah memuncak emosinya. Ia berkata kepada suaminya: “Semua ini gara-gara kamu, selama ini aku menahan kesabaranku, dan jadilah sekarang aku seperti ini, kenapa selama ini kamu tidak segera menceraikan saya, saya kan ingin punya anak, saya ingin memomong dan menimang bayi, saya kan … saya kan …”. Sang istri pun bad rest di rumah sakit.

Di saat yang genting itu, tiba-tiba suaminya berkata: “Maaf, saya ada tugas keluar negeri, dan saya berharap semoga engkau baik-baik saja”. “Haah, pergi?”. Kata sang istri. “Ya, saya akan pergi karena tugas dan sekalian mencari donatur ginjal, semoga dapat”. Kata sang suami.

Sehari sebelum operasi, datanglah sang donatur ke tempat pembaringan sang istri. Maka disepakatilah bahwa besok akan dilakukan operasi pemasangan ginjal dari sang donatur.

Saat itu sang istri teringat suaminya yang pergi, ia berkata dalam dirinya: “Suami apa an dia itu, istrinya operasi, eh dia malah pergi meninggalkan diriku terkapar dalam ruang bedah operasi”.

Operasi berhasil dengan sangat baik. Setelah satu pekan, suaminya datang, dan tampaklah pada wajahnya tanda-tanda orang yang kelelahan.

Ketahuilah bahwa sang donatur itu tidak ada lain orang melainkan sang suami itu sendiri. Ya, suaminya telah menghibahkan satu ginjalnya untuk istrinya, tanpa sepengetahuan sang istri, tetangga dan siapa pun selain dokter yang dipesannya agar menutup rapat rahasia tersebut.

Dan subhanallah …

Setelah Sembilan (9) bulan dari operasi itu, sang istri melahirkan anak. Maka bergembiralah suami istri tersebut, keluarga besar dan para tetangga.

Suasana rumah tangga kembali normal, dan sang suami telah menyelesaikan studi S2 dan S3-nya di sebuah fakultas syari’ah dan telah bekerja sebagai seorang panitera di sebuah pengadilan di Jeddah. Ia pun telah menyelesaikan hafalan Al-Qur’an dan mendapatkan sanad dengan riwayat Hafs, dari ‘Ashim.

Pada suatu hari, sang suami ada tugas dinas jauh, dan ia lupa menyimpan buku hariannya dari atas meja, buku harian yang selama ini ia sembunyikan. Dan tanpa sengaja, sang istri mendapatkan buku harian tersebut, membuka-bukanya dan membacanya.

Hampir saja ia terjatuh pingsan saat menemukan rahasia tentang diri dan rumah tangganya. Ia menangis meraung-raung. Setelah agak reda, ia menelpon suaminya, dan menangis sejadi-jadinya, ia berkali-kali mengulang permohonan maaf dari suaminya. Sang suami hanya dapat membalas suara telpon istrinya dengan menangis pula.

Dan setelah peristiwa tersebut, selama tiga bulanan, sang istri tidak berani menatap wajah suaminya. Jika ada keperluan, ia berbicara dengan menundukkan mukanya, tidak ada kekuatan untuk memandangnya sama sekali.